Puji serta syukur kami panjatkan kehadirat ALLAH SWT, atas segala
limpahan rahmat dan petunjuk-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan MAKALAH
KERAJAAN ISLAM DI JAWA ini. Makalah ini
dibuat untuk memenuhi tugas mata pelajaran Sejarah indonesia .
Dorongan
dari orang tua kami dan juga tidak lupa dukungan dan kerja sama dari
teman-teman kami yang begitu besar sehingga kami bisa menyelesaikan tugas
Makalah Kerajaan Islam Di Jawa ini dengan tepat waktu. Sehingga penulis
mengucapkan banyak terimakasih untuk semuanya.
Penulis sadar bahwa Makalah Kerajaan Islam ini, masih
jauh dari kata sempurna, maka saran dan kritik yang membangun dari pembaca
amatlah penulis harapkan demi sempurnanya makalah ini. Semoga makalah ini dapat
bermanfaat dan dipakai sebagai bahan referensi yang dapat memberikan wawasan
luas dalam dunia pendidikan.
21
Februari 2015
Penyusun
Kata Pengantar ................................................................................................................. 1
Daftar Isi.......................................................................................................................... 2
BAB I KERAJAAN DEMAK
1. Pendahuluan
1.1 Latar
Belakang .......................................................................................... 3
1.2 Tujuan
Penulisan Makalah ........................................................................ 3
1.3 Metode Penulisan Makalah ...................................................................... 4
2. Pembahasan
2.1
Awal Kerajaan Demak ............................................................................ 4
2.2
Letak Kerajaan Demak ............................................................................ 4
2.3
Kehidupan Politik Kerajaan Demak ........................................................ 5
2.4
Kehidupan Ekonomi Kerajaan Demak .................................................... 9
2.5
Kehidupan Sosial-budaya Kerajaan Demak ............................................ 9
2.6
Peradaban Kerajaan Islam Demak Pada Abad XVI ............................... 10
2.7
Perang Saudara Di Demak ...................................................................... 11
2.8
Keruntuhan Kerajaan Demak .................................................................. 12
2.9
Demak Dibawah Kekuasaan Raja – Raja Mataram ............................... 12
3. Kesimpulan ................................................................................................... 13
BAB II KERAJAAN
MATARAM ................................................................................ 14
A. Kerajaan
Mataram Islam ...................................................................................... 15
B. Peta
Kerajaan Mataram ........................................................................................ 15
BAB III KESULTANAN
CIREBON ........................................................................... 16
1.
Perkembangan Awal ................................................................................ 16
2.
Pendirian .................................................................................................. 17
3.
Terpecahnya Kesultanan Cirebon ............................................................. 19
4. Masa Kolonial Dan Kemerdekaan ............................................................ 20
5. Perkembangan Terakhir ........................................................................... 20
6. Puncak Kejayaan ...................................................................................... 21
7. Perang Saudara ......................................................................................... 21
BAB IV KESULTANAN
BANTEN .............................................................................. 22
BAB V PENUTUP
1. Kesimpulan .......................................................................................................... 25
2. Saran ..................................................................................................................... 25
DAFTAR PUSTAKA ...................................................................................................... 26
BAB I
KERAJAAN DEMAK
1. PENDAHULUAN
1.1
LATAR BELAKANG
Kerajaan
Demak merupakan kerajaan Islam pertama di Pulau Jawa. Sebelumnya kerajaan Demak
merupakan keadipatian vazal dari kerajaan Majapahit. Kerajaan ini didirikan
oleh Raden Patah pada tahun 1500 hingga tahun 1550 (Soekmono: 1973). Raden
patah adalah bangsawan kerajaan Majapahit yang telah mendapatkan pengukuhan
dari Prabu Brawijaya yang secara resmi menetap di Demak dan mengganti nama
Demak menjadi Bintara.
(Muljana: 2005). Raden Patah
menjabat sebagai adipati kadipaten Bintara, Demak..Atas bantuan daerah-daerah
lain yang sudah lebih dahulu menganut islam seperti Jepara, Tuban dan Gresik,
ia mendirikan Kerajaan Islam dengan Demak sebagai pusatnya. Raden patah sebagai
adipati Islam di Demak memutuskan ikatan dengan Majapahit saat itu, karena
kondisi Kerajaan Majapahit yang memang dalam kondisi lemah. Bisa dikatakan
munculnya Kerajaan Demak merupakan suatu proses Islamisasi hingga mencapai
bentuk kekuasaan politik. Apalagi munculnya Kerajaan Demak juga dipercepat
dengan melemahnya pusat Kerajaan Majapahit sendiri, akibat pemberontakan serta
perang perebutan kekuasaan di kalangan keluarga raja-raja.( Poesponegoro:
1984).
Sebagai kerajaan Islam pertama di pulau Jawa, Kerajaan Demak sangat berperan
besar dalam proses Islamisasi pada masa itu. Kerajaan Demak berkembang
sebagai pusat perdagangan dan sebagai pusat penyebaran agama Islam.
Wilayah kekuasaan Demak meliputi Jepara, Tuban, Sedayu Palembang, Jambi dan
beberapa daerah di Kalimantan. Di samping itu, Kerajaan Demak juga
memiliki pelabuhan-pelabuhan penting seperti Jepara, Tuban, Sedayu, Jaratan dan
Gresik yang berkembang menjadi pelabuhan transito (penghubung).
1.2 TUJUAN PENULISAN MAKALAH
Adapun
tujuan penulisan makalah yang kami tulis, dalam pembuatan makalah Belajar dan
Pembelajaraan dengan perumusan masalah di atas adalah :
A.
Menjelaskan
awal mula berdirinya kerajaan Demak
B.
Menjelaskan
kondisi politik kerajaan Demak
C.
Menjelaskan
kondisi ekonomi kerajaan Demak
D.
Menjelaskan
kondisi sosial – budaya kerajaan Demak
E.
Menjelaskan
peradaban kerajaan Demak pada abad XVI
F.
Menjelaskan perang saudara di kerajaan Demak
G.
Menjelaskan keruntuhan Demak
H.
Menjelaskan Demak dibawah kekuasaan raja – raja Mataram
1.3
METODE PENULIASAN MAKALAH
Metode atau
cara yang digunakan dalam penulisan makalah interaksi edukasi dan konsep
belajar serta pembelajaran dalam pembuatan makalah ini dalam mencari referensi
atau sumbernya yang kami buat adalah melakukan studi kepustakaan dan
mencari sumber dari Internet. Juga sumber-sumber lain yang dapat menjadikan
referensi makalah yang kami buat ini.
2. PEMBAHASAN
2.1
Awal Kerajaan Demak
Kerajaan Islam yang pertama di Jawa adalah Demak, dan
berdiri pada tahun 1478 M. Hal ini didasarkan atas jatuhnya kerajaan Majapahit
yang diberi tanda Candra Sengkala: Sirna hilang Kertaning Bumi, yang berarti
tahun saka 1400 atau 1478 M.
Kerajaan Demak itu didirikan oleh Raden Fatah. Beliau
selalu memajukan agama islam di bantu oleh para wali dan saudagar Islam.Raden
Fatah nama kecilnya adalah Pangeran Jimbun. Menurut sejarah, dia adalah putera
raja Majapahit yang terakhir dari garwa Ampean, dan Raden Fatah dilahirkan di Palembang.
Karena Arya Damar sudah masuk Islam maka Raden Fatah dididik secara Islam,
sehingga jadi pemuda yang taat beragama Islam.
Setelah usia 20 tahun Raden Fatah dikirim ke Jawa
untuk memperdalam ilmu agama di bawa asuhan Raden Rahmat dan akhirnya kawin
dengan cucu beliau. Dan akhirnya Raden Fatah menetap di Demak
(Bintoro). Pada kira-kira tahun 1475 M, Raden Fatah mulai melaksanakan
perintah gurunya dengan jalan membuka madrasah atau pondok pesantren di daerah
tersebut. Rupanya tugas yang diberikan kepada Raden Fatah dijalankan dengan
sebaik-baiknya. Lama kelamaan Desa Glagahwangi ramai dikunjungi orang-orang.
Tidak hanya menjadi pusat ilmu pengetahuan dan agama, tetapi kemudian
menjadi pusat peradagangan bahkan akhirnya menjadi pusat kerajaan Islam pertama
di Jawa.
Desa Glagahwangi, dalam perkemabangannya kemudian
karena ramainya akhirnya menjadi ibukota negara dengan nama Bintoro Demak.
2.2
Letak Kerajaan Demak
Secara geografis Kerajaan Demak terletak di daerah
Jawa Tengah, tetapi pada awal kemunculannya kerajaan Demak mendapat bantuan
dari para Bupati daerah pesisir Jawa Tengah dan Jawa Timur yang telah menganut
agama Islam.Pada sebelumnya, daerah Demak bernama Bintoro yang merupakan daerah
vasal atau bawahan Kerajaan Majapahit. Kekuasaan pemerintahannya diberikan
kepada Raden Fatah (dari kerajaan Majapahit) yang ibunya menganut agama Islam
dan berasal dari Jeumpa (Daerah Pasai). Letak Demak sangat menguntungkan, baik
untuk perdagangan maupun pertanian. Pada zaman dahulu wilayah Demak terletak di
tepi selat di antara Pegunungan Muria dan Jawa. Sebelumnya selat itu rupanya
agak lebar dan dapat dilayari dengan baik sehingga kapal dagang dari Semarang
dapat mengambil jalan pintas untuyk berlayar ke Rembang. Tetapi sudah sejak
abad XVII jalan pintas itu tidak dapat dilayari setiap saat.Pada abad XVI
agaknya Deamak telah menjadi gudang padi dari daerah pertanian di tepian selat
tersebut.
Konon, kota Juwana merupakan pusat seperti itu bagi
daerah tersebut pada sekitar 1500. Tetapi pada sekitar 1513 Juwana dihancurkan
dan dikosongkan oleh Gusti Patih, panglima besar kerajaan Majapahit yang bukan
Islam. Ini kiranya merupakan peralawanan terakhir kerajaan yang sudah tua itu.
Setelah jatuhnya Juwana, Demak menjadi penguasa tunggal di sebelah selatan
Pegunungan Muria.
Yang menjadi penghubung antara Demak dan Daerah
pedalaman di Jawa Tengah ialah Sungai Serang (dikenal juga dengan nama-nama
lain), yang sekarang bermuara di Laut Jawa antara Demak dan Jepara.Hasil panen
sawah di daerah Demak rupanya pada zaman dahulu pun sudah baik. Kesempatan
untuk menyelenggarakan pengaliran cukup. Lagi pula, persediaan padi untuk
kebutuhan sendiri dan untuk pergadangan masih dapat ditambah oleh para penguasa
di Demak tanpa banyak susah, apabila mereka menguasai jalan penghubung di pedalaman
Pegging dan Pajang.
Letak kerajaan
Demak dapat dilihat dari gambar berikut ini :
2.3
KEHIDUPAN POLITIK KERAJAAN DEMAK
Ketika kerajaan Majapahit mulai mundur, banyak bupati
yang ada di daerah pantai utara Pulau Jawa melepaskan diri. Bupati-bupati itu
membentuk suatu persekutuan di bawah pimpinan Demak. Setelah kerajaan
Majapahit runtuh, berdirilah kerajaan Demak sebagai kerajaan Islam pertama
dipulau Jawa. Raja-raja yang pernah memerintah Kerajaan Demak adalah sebagai
berikut :
A. Raden Patah (1500-1518)
Raden Patah adalah pendiri dan sultan pertama dari kerajaan Demak yang memerintah
tahun 1500-1518 (Muljana: 2005). Menurut Babad Tanah Jawi, Raden Patah adalah
putra prabu Brawijaya raja terakhir. Di ceritakan prabu Brawijaya selain kawin
dengan Ni Endang Sasmitapura, juga kawin dengan putri cina dan putri campa.
Karena Ratu Dwarawati sang permaisuri yang berasal dari Campa merasa cemburu, prabu Brawijaya terpaksa memberikan putri Cina kepada
putra sulungnya, yaitu Arya Damar bupati Palembang. Setelah melahirkan Raden Patah, setelah itu putri Cina dinikahi Arya
Damar, dan melahirkan seorang anak laki-laki yang diberi nama Raden
Kusen. Demikianlah Raden Patah dan Raden Kusen adalah saudara sekandung
berlainan bapak.( Muljana: 2005). Menurut kronik
Cina dari kuil
Sam Po Kong, nama panggilan waktu Raden
Patah masih muda adalah Jin Bun, putra Kung-ta-bu-mi (alias Bhre
Kertabhumi) atau disebut juga prabu
Brawijaya V dari selir Cina.
Babad Tanah Jawi menyebutkan, Raden Patah dan Raden
Kusen menolak untuk menuruti kehendak orang tuanya untuk menggantikan ayahnya
sebagai adipati di Palembang. Mereka lolos
dari keraton menuju Jawa dengan menumpang kapal dagang. Mereka berdua mendarat
di Surabaya, lalu menjadi santri pada Sunan Ngampel.( Muljana: 2005). Raden
Patah tetap tinggal di Ngampel Denta, kemudian dipungut sebagai menantu Sunan
Ngampel, dikawinkan dengan cucu perempuan, anak sulung Nyai Gede Waloka.Raden
Kusen kemudian mengabdi pada prabu Brawijaya di Majapahit. Raden Kusen diangkat
menjadi adipati Terung, sedangkan Raden Patah pindah ke Jawa Tengah, di situ ia
membuka hutan Glagahwangi atau hutan Bintara menjadi sebuah pesantren dan Raden
Patah menjadi ulama di Bintara dan mengajarkan agama Islam kepada penduduk
sekitarnya. Makin lama Pesantren Glagahwangi semakin maju. Prabu Brawijaya di
Majapahit khawatir kalau Raden Patah berniat memberontak.Raden Kusen yang kala
itu sudah diangkat menjadi Adipati Terung diperintah untuk memanggil Raden
Patah.
Raden Kusen
menghadapkan Raden Patah ke Majapahit.Brawijaya merasa terkesan dan akhirnya
mau mengakui Raden Patah sebagai putranya. Raden Patah pun diangkat sebagai
bupati, sedangkan Glagahwangi diganti nama menjadi Demak, dengan ibu kota bernama Bintara.
Menurut kronik
Cina, Jin Bun alias Raden
Patah pindah dari Surabaya ke Demak tahun 1475. Kemudian ia menaklukkan Semarang tahun 1477 sebagai bawahan Demak. Hal itu
membuat Kung-ta-bu-mi di Majapahit resah. Namun, berkat bujukan Bong Swi Hoo
(alias Sunan Ampel), Kung-ta-bu-mi bersedia mengakui Jin Bun sebagai anak, dan
meresmikan kedudukannya sebagai bupati di Bing-to-lo atau Bintara ( Muljana:
2005).
Dalam waktu yang singkat, di bawah kepemimpinan Raden
Patah, lebih-lebih oleh karena jatuhnya Malaka ke tangan portugis dalam tahun
1511, Demak mencapai puncak kejayaannya. Dalam masa pemerintahan Raden Patah, Demak berhasil dalam berbagai bidang,
diantaranya adalah perluasan dan pertahanan kerajaan, pengembangan islam dan
pengamalannya, serta penerapan musyawarah dan kerja sama antara ulama dan umara
(penguasa). ( Muljana: 2005 ). Keberhasilan Raden Patah dalam perluasan dan
pertahanan kerajaan dapat dilihat ketika ia menaklukkan Girindra Wardhana yang
merebut tahkta Majapahit (1478), hingga dapat menggambil alih kekuasaan
majapahit. Selain itu, Raden Patah juga mengadakan perlawan terhadap portugis, yang telah menduduki malaka dan ingin mengganggu demak.Ia mengutus
pasukan di bawah pimpinan putranya, Pati Unus atau Adipati Yunus atau Pangeran
Sabrang Lor (1511), meski akhirnya gagal. Perjuangan Raden Patah kemudian
dilanjutkan oleh Pati Unus yang menggantikan ayahnya pada tahun 1518. Dalam
bidang dakwah islam dan pengembangannya,
Raden patah mencoba menerapkan hukum islam
dalam berbagai aspek kehidupan. Selain itu, ia juga membangun istana dan
mendirikan masjid (1479) yang sampai sekarang terkenal dengan masjid Agung
Demak. Pendirian masjid itu dibantu sepenuhnya oleh walisanga.
B. Adipati Unus (1518 - 1521)
Pada tahun
1518 Raden Patah wafat kemudian digantikan putranya yaitu Pati Unus.Pati Unus
terkenal sebagai panglima perang yang gagah berani dan pernah memimpin
perlawanan terhadap Portugis di Malaka. Karena keberaniannya itulah ia
mendapatkan julukan Pangeran Sabrang lor. ( Soekmono: 1973).
Tome
Pires dalam bukunya Suma Oriental menceritakan asal-usul dan pengalaman
Pate Unus. Dikatakan bahwa nenek Pate Unus berasal dari Kalimantan Barat
Daya.Ia merantau ke Malaka dan kawin dengan wanita Melayu.
Dari
perkawinan itu lahir ayah Pate Unus, ayah Pate Unus kemudian kembali ke Jawa
dan menjadi penguasa di Jepara.( Muljana: 2005 ). Setelah dewasa beliau diambil
mantu oleh Raden Patah yang telah menjadi Sultan Demak I. Dari Pernikahan
dengan putri Raden Patah, Adipati Unus resmi diangkat menjadi Adipati wilayah
Jepara (tempat kelahiran beliau sendiri). Karena ayahanda beliau (Raden Yunus)
lebih dulu dikenal masyarakat, maka Raden Abdul Qadir lebih lebih sering dipanggil
sebagai Adipati bin Yunus (atau putra Yunus). Kemudian hari banyak orang
memanggil beliau dengan yang lebih mudah Pati Unus.
Tahun 1512
giliran Samudra Pasai yang jatuh ke tangan Portugis ( Muljana: 2005 ). Hal ini
membuat tugas Pati Unus sebagai Panglima Armada Islam tanah jawa semakin
mendesak untuk segera dilaksanakan. Maka tahun 1513 dikirim armada kecil,
ekspedisi Jihad I yang mencoba mendesak masuk benteng Portugis di Malaka gagal
dan balik kembali ke tanah Jawa. Kegagalan ini karena kurang persiapan
menjadi pelajaran berharga untuk membuat persiapan yang lebih baik.Maka
direncanakanlah pembangunan armada besar sebanyak 375 kapal perang di tanah
Gowa, Sulawesi yang masyarakatnya sudah terkenal dalam pembuatan kapal.Di tahun
1518 Raden Patah, Sultan Demak I bergelar Alam Akbar Al Fattah mangkat, beliau
berwasiat supaya mantu beliau Pati Unus diangkat menjadi Sultan Demak
berikutnya. Maka diangkatlah Pati Unus atau Raden Abdul Qadir bin Yunus.
Armada
perang Islam siap berangkat dari pelabuhan Demak dengan mendapat pemberkatan
dari Para Wali yang dipimpin oleh Sunan Gunung Jati.Armada perang yang sangat
besar untuk ukuran dulu bahkan sekarang.Dipimpin langsung oleh Pati Unus
bergelar Senapati Sarjawala yang telah menjadi Sultan Demak II. Dari sini sejarah
keluarga beliau akan berubah, sejarah kesultanan Demak akan berubah dan sejarah
tanah Jawa akan berubah.Kapal yang ditumpangi Pati Unus terkena peluru meriam
ketika akan menurunkan perahu untuk merapat ke pantai. Ia gugur sebagai Syahid
karena kewajiban membela sesama Muslim yang tertindas penjajah (Portugis) yang
bernafsu memonopoli perdagangan rempah-rempah.
Sedangkan
Pati Unus, Sultan Demak II yang gugur kemudian disebut masyarakat dengan gelar
Pangeran Sabrang Lor atau Pangeran (yang gugur) di seberang utara. Pimpinan
Armada Gabungan Kesultanan Banten, Demak dan Cirebon segera diambil alih oleh
Fadhlullah Khan yang oleh Portugis disebut Falthehan, dan belakangan disebut
Fatahillah setelah mengusir Portugis dari Sunda Kelapa 1527. Di ambil alih oleh
Fadhlullah Khan adalah atas inisiatif Sunan Gunung Jati yang sekaligus menjadi
mertua karena putri beliau yang menjadi janda Sabrang Lor dinikahkan dengan
Fadhlullah Khan.
C. Sultan Trenggono (1521 - 1546)
Sultan
Trenggono adalah Sultan Demak yang
ketiga, beliau memerintah Demak dari tahun 1521-1546 M. ( Badrika: 2006 ).
Sultan Trenggono adalah putra Raden Patah pendiri Demak yang lahir dari
permaisuri Ratu Asyikah putri Sunan Ampel ( Muljana: 2005 ). Menurut Suma
Oriental, ia dilahirkan sekitar tahun 1483. Ia merupakan adik kandung Pangeran
Sabrang Lor, raja Demak sebelumnya (versi Serat Kanda). Sultan Trenggono
memiliki beberapa orang putra dan putri.
Diantaranya
yang paling terkenal ialah Sunan Prawoto yang menjadi raja penggantinya, Ratu
Kalinyamat yang menjadi bupati Jepara, Ratu Mas Cempaka yang menjadi istri
Sultan Hadiwijaya, dan Pangeran Timur yang berkuasa sebagai adipati di wilayah
Madiun dengan gelar Rangga Jumena.
Sultan
Trenggana Wafat / Mangkat Berita Sultan Trenggono wafat ditemukan dalam catatan
seorang Portugis bernama Fernandez Mendez Pinto.Pada tahun 1546 Sultan
Trenggono menyerang Panarukan, Situbondo yang saat itu dikuasai
Blambangan.Sunan Gunung Jati membantu dengan mengirimkan gabungan prajurit
Cirebon, Banten, dan Jayakarta sebanyak 7.000 orang yang dipimpin
Fatahillah.Mendez Pinto bersama 40 orang temannya saat itu ikut serta dalam
pasukan Banten. Pasukan Demak sudah mengepung Panarukan selama tiga bulan, tapi
belum juga dapat merebut kota itu. Suatu ketika Sultan Trenggono bermusyawarah
bersama para adipati untuk melancarkan serangan selanjutnya.Putra bupati
Surabaya yang berusia 10 tahun menjadi pelayannya.Anak kecil itu tertarik pada
jalannya rapat sehingga tidak mendengar perintah Trenggono.Trenggono marah dan
memukulnya.Anak itu secara spontan membalas menusuk dada Trenggono memakai
pisau. Sultan Demak itu pun tewas seketika dan segera dibawa pulang
meninggalkan Panarukan.
Sultan
Trenggana berjasa atas penyebaran Islam di Jawa Timur dan Jawa Tengah. Di bawah
Sultan Trenggana, Demak mulai menguasai daerah-daerah Jawa lainnya seperti
merebut Sunda Kelapa dari Pajajaran serta menghalau tentara Portugis yang akan
mendarat di sana (1527), Tuban (1527), Madiun (1529), Surabaya dan Pasuruan
(1527), Malang (1545), dan Blambangan, kerajaan Hindu terakhir di ujung timur
pulau Jawa (1527, 1546). Panglima perang Demak waktu itu adalah
Fatahillah, pemuda asal Pasai (Sumatera), yang juga menjadi menantu Sultan
Trenggana. Sultan Trenggana meninggal pada tahun 1546 dalam sebuah pertempuran
menaklukkan Pasuruan, dan kemudian digantikan oleh Sunan Prawoto
D. Sunan Prawata (1546 –
1549)
Sunan
Prawata adalah nama lahirnya (Raden Mukmin) adalah raja keempat
Kesultanan Demak, yang memerintah tahun 1546-1549. Ia lebih cenderung sebagai
seorang ahli agama daripada ahli politik. Pada masa kekuasaannya, daerah
bawahan Demak seperti Banten, Cirebon, Surabaya, dan Gresik, berkembang bebas tanpa mampu dihalanginya. Menurut Babad Tanah Jawi, ia
tewas dibunuh oleh orang suruhan bupati Jipang Arya Penangsang, yang tak lain
adalah sepupunya sendiri. Setelah kematiannya, Hadiwijaya memindahkan pusat pemerintahan ke Pajang, dan Kesultanan Demak pun berakhir.
Sepeninggal
Sultan Trenggana yang memerintah Kesultanan Demak tahun 1521-1546, Raden Mukmin
selaku putra tertua naik tahta.Ia berambisi untuk melanjutkan usaha ayahnya
menaklukkan Pulau
Jawa. Namun, keterampilan berpolitiknya
tidak begitu baik, dan ia lebih suka hidup sebagai ulama daripada sebagai raja.
Raden Mukmin memindahkan pusat pemerintahan dari kota Bintoro menuju bukit
Prawoto. Lokasinya saat ini kira-kira adalah desa Prawoto, Kecamatan
Sukolilo, Kabupaten Pati, Jawa
Tengah.Oleh karena itu, Raden Mukmin pun terkenal dengan sebutan Sunan
Prawoto.Pemerintahan Sunan Prawoto juga terdapat dalam catatan seorang Portugis bernama Manuel Pinto.
Pada tahun 1548, Manuel Pinto singgah ke Jawa
sepulang mengantar surat untuk uskup agung Pastor Vicente Viegas di Makassar.
Ia sempat bertemu Sunan Prawoto dan mendengar rencananya untuk mengislamkan
seluruh Jawa, serta ingin berkuasa seperti sultan Turki. Sunan Prawoto juga
berniat menutup jalur beras ke Malaka dan menaklukkan Makassar.Akan tetapi,
rencana itu berhasil dibatalkan oleh bujukan Manuel Pinto.
Cita-cita
Sunan Prawoto pada kenyataannya tidak pernah terlaksana.Ia lebih sibuk sebagai
ahli agama dari pada mempertahankan kekuasaannya. Satu per satu daerah bawahan,
seperti Banten, Cirebon, Surabaya, dan Gresik, berkembang bebas; sedangkan Demak tidak mampu
menghalanginya.
2.4 KEHIDUPAN EKONOMI KERAJAAN DEMAK
Seperti yang telah dijelaskan pada uraian materi
sebelumnya, bahwa letak Demak sangat strategis di jalur perdagangan nusantara
memungkinkan Demak berkembang sebagai kerajaan maritim. Dalam kegiatan perdagangan, Demak berperan sebagai penghubung antara daerah
penghasil rempah di Indonesia bagian Timur dan penghasil rempah-rempah
Indonesia bagian barat.Dengan demikian perdagangan Demak semakin berkembang.Dan
hal ini juga didukung oleh penguasaan Demak terhadap pelabuhan-pelabuhan di
daerah pesisir pantai pulau Jawa.
Sebagai
kerajaan Islam yang memiliki wilayah di pedalaman, maka Demak juga
memperhatikan masalah pertanian, sehingga beras merupakan salah satu hasil
pertanian yang menjadi komoditi dagang.Dengan demikian kegiatan perdagangannya
ditunjang oleh hasil pertanian, mengakibatkan Demak memperoleh keuntungan di
bidang ekonomi. Letak kerajaan Demak yang strategis , sangat membantu Demak
sebagai kerajaan Maritim. Lagi pula letaknya yang ada di muara sungai Demak
mendorong aktivitas perdagangan cepat berkembang.Di samping dari perdagangan,
Demak juga hidup dari agraris.Pertanian di Demak tumbuh dengan baik karena
aliran sungai Demak lewat pelabuhan Bergota dan Jepara.Demak bisa menjual
produksi andalannya seperti beras, garam dan kayu jati.
2.5 KEHIDUPAN SOSIAL – BUDAYA KERAJAAN DEMAK
Berdirinya
kerajaan Demak banyak didorong oleh latar belakang untuk mengembangkan dakwah
Islam.Oleh karena itu tidak heran jika Demak gigih melawan daerah-daerah yang
ada dibawah pengaruh asing. Berkat dukungan Wali Songo , Demak berhasil
menjadikan diri sebagai kerajaan Islam pertama di Jawa yang memiliki pengaruh
cukup luas. Untuk mendukung dakwah pengembangan agama Islam, dibangun Masjid
Agung Demak sebagai pusatnya.Kehidupan sosial dan budaya masyarakat Demak lebih
berdasarkan pada agama dan budaya Islam karena pada dasarnya Demak adalah pusat
penyebaran Islam di pulau Jawa.
Sebagai
pusat penyebaran Islam Demak menjadi tempat berkumpulnya para wali seperti
Sunan Kalijaga, Sunan Muria, Sunan Kudus dan Sunan Bonar.Para wali tersebut
memiliki peranan yang penting pada masa perkembangan kerajaan Demak bahkan para
wali tersebut menjadi penasehat bagi raja Demak. Dengan demikian terjalin hubungan yang erat antara raja/bangsawan, para wali/ulama dengan rakyat.
Hubungan
yang erat tersebut, tercipta melalui pembinaan masyarakat yang diselenggarakan
di Masjid maupun Pondok Pesantren.Sehingga tercipta kebersamaan atau Ukhuwah
Islamiyah (persaudaraan di antara orang-orang Islam).
Demikian
pula dalam bidang budaya banyak hal yang menarik yang merupakan peninggalan
dari kerajaan Demak.Salah satunya adalah Masjid Demak, di mana salah satu tiang
utamanya terbuat dari pecahan-pecahan kayu yang disebut Soko Tatal.Masjid Demak
dibangun atas pimpinan Sunan Kalijaga. Di serambi depan Masjid (pendopo) itulah
Sunan Kalijaga menciptakan dasar-dasar perayaan Sekaten (Maulud Nabi Muhammad
saw) yang sampai sekarang masih berlangsung di Yogyakarta dan Cirebon.
Dilihat dari
arsitekturnya, Masjid Agung Demak seperti yang tampak pada gambar 10 tersebut
memperlihatkan adanya wujud akulturasi kebudayaan Indonesia Hindu dengan
kebudayaan Islam.Salah satu peninggalan berharga kerajaan Demak adalah bangunan
Masjid Demak yang terletak di sebelah barat alun-alun Demak. Masjid Agung Demak
memiliki ciri khas yakni salah satu tiang utamanya terbuat dari tatal (
potongan kayu), atap tumpang, dan di belakngnya terdapat makam raja-raja Demak.
2.6
PERADABAN KERAJAAN ISLAM DEMAK
PADA ABAD XVI
Kerajaan Islam Demak merupakan lanjutan kerajaan
Majapahit. Sebelum raja Demak merasa sebagai raja Islam merdeka dan memberontak
pada kekafiran (Majapahit). Tidak diragukan lagi bahwa sudah sejak abad XIV
orang Islam tidak asing lagi di kota kerajaan Majapahit dan di bandar bubat.
Cerita-cerita jawa yang memberitakan adanya “kunjungan menghadap raja” ke
Keraton Majapahit sebagai kewajiban tiap tahun, juga bagi para vasal yang
beragama Islam, mengandung kebenaran juga. Dengan melakukan “kunjungan
menghadap raja” secara teratur itulah vasal menyatakan kesetiaannya sekaligus
dengan jalan demikian ia tetap menjalin hubungan dengan para pejabat keraton
Majapahit, terutama dengan patih. Waktu raja Demak menjadi raja Islam merdeka
dan menjadi sultan, tidak ada jalan lain baginya. Bahwa banyak bagian dari
peradaban lama, sebelum zaman Islam telah diambil alih oleh Keraton-keraton
Jawa Islam di Jawa Tengah, terbukti jelas sekali dari kesusastraan Jawa pada
zaman itu.
Bertambahnya bangunan militer di Demak dan Ibukota
lainnya di Jawa pada abad XVI, selain karena keperluan yang sangat mendesak, disebabkan
juga oleh pengaruh tradisi kepahlawanan Islam dan contoh ynag dilihat di
kota-kota Islam di luar negeri.Peranan penting masjid Demak sebagai pusat
peribadatan kerajaan Islam pertama di Jawa dan kedudukannya di hati orang
beriman pada abad XVI dan sesudahnya. Terdapatnya jemaah yang sangat
berpengaruh dan dapat berhubungan dengan pusat Islam Internasional di luar
negeri.
Bagian-bagian penting peradaban jawa Islam yang
sekarang, seperti wayang orang, wayang topeng, gamelan, tembang macapat dan
pembuatan keris, kelihatannya sejak abad XVII oleh hikayat Jawa dipandang
sebagai hasil penemuan para wali yang hidup sezaman dengan kesultanan
Demak.Kesenian tersebut telah mendapat kedudukan penting dalam peradaban Jawa
sebelum Islam, kemungkinan berhubungan dengan ibadat. Pada waktu abad XV dan
XVI di kebanyakan daerah jawa tata cara kafir harus diganti dengan upacara
keagamaan Islam, seni seperti wayang dan gamelan itu telah kehilangan sifat
sakralnya. Sifatnya lalu menjadi “sekuler”.
Perekembangan sastra Jawa yang pada waktu itu
dikatakan “modern” juga mendapat pengaruh dari proses sekularisasi karya-karya
sastra yang dahulu keramat dan sejarah suci dari zaman kuno. Peradaban
“pesisir” yang berpusat di bandar-bandar pantai utara dan pantai timur Jawa, mungkin
pada mulanya pada abad XV tidak semata-mata bersifat Islam. Tetapi kejayaannya
pada abad XVI dan XVII dengan jelas menunjukkan hubungan dengan meluasnya agama
Islam.
2.7 PERANG SAUDARA DI DEMAK
Perang saudara ini berawal dari meninggalnya anak
sulung Raden Patah yaitu Adipati Unus yang manjadi putra mahkota. Akhirnya
terjadi perebutan kekuasaan antara anak-anak dari Raden Patah. Persaingan ketat
anatara Sultan Trenggana dan Pangeran Seda Lepen (Kikin). Akhirnya kerajaan
Demak mampu dipimpin oleh Trenggana dengan menyuruh anaknya yaitu Prawoto untuk
membunuh pangeran Seda Lepen. Dan akhirnya sultan Trenggana manjadi sultan
kedua di Demak. Pada masa
kekuasaan Sultan Trenggana (1521-1546), Demak mencapai puncak keemasan dengan
luasnya daerah kekuasaan dari Jawa Barat sampai Jawa timur. Hasil dari
pemerintahannya adalah Demak memiliki
benteng bawahan di barat yaitu di Cirebon. Tapi kesultanan Cirebon akhirnya
tidak tunduk setelah Demak berubah menjadi kesultanan pajang.
Sultan Trenggana meninggalkan dua orang putra dan
empat putri. Anak pertama perempuan dan menikah dengan Pangeran Langgar, anak
kedua laki-laki, yaitu sunan prawoto, anak yang ketiga perempuan, menikah
dengan pangeran kalinyamat, anak yang keempat perempuan, menikah dengan
pangeran dari Cirebon, anak yang kelima perempuan, menikah dengan Jaka Tingkir,
dan anak yang terakhir adalah Pangeran Timur. Arya Penangsang Jipang telah
dihasut oleh Sunan Kudus untuk membalas kematian dari ayahnya, Raden Kikin atau
Pangeran Sedo Lepen pada saat perebutan kekuasaan. Dengan membunuh Sunan
Prawoto, Arya Penangsang bisa menguasai Demak dan bisa menjadi raja Demak yang
berdaulat penuh. Pada tahun 1546 setelah wafatnya Sultan Trenggana secara
mendadak, anaknya yaitu Sunan Prawoto naik tahta dan menjadi raja ke-3 di Demak. Mendengar hal tersebut Arya
Penangsang langsung menggerakan pasukannya untuk menyerang Demak. Pada masa itu posisi Demak
sedang kosong armada. Armadanya sedang dikirim ke Indonesia timur. Maka dengan
mudahnya Arya Penangsang membumi hanguskan Demak. Yang tersisa hanyalah masjid Demak dan Klenteng.
Dalam pertempuran ini tentara Demak terdesak dan mengungsi ke
Semarang, tetapi masih bisa dikejar. Sunan prawoto gugur dalam pertempuran ini.
Dengan gugurnya Sunan Prawoto, belum menyelesaikan masalah keluarga ini. Masih
ada seseorang lagi yang kelak akan membawa Demak pindah ke Pajang, Jaka
Tingkir. Jaka Tingir adalah anak dari Ki Ageng Pengging bupati di wilayah Majapahit
di daerah Surakarta. Dalam babad tanah jawi, Arya Penangsang berhasil
membunuh Sunan Prawoto dan Pangeran Kalinyamat, sehingga tersisa Jaka Tingkir.
Dengan kematian kalinyamat, maka janda dari pangeran kalinyamat membuat
saembara. Siapa saja yang bisa membunuh Arya Penangsang, maka dia akan
mendapatkan aku dan harta bendaku.
Begitulah sekiranya tutur kata dari Nyi Ratu
Kalinyamat. Mendengar hal tersebut Jaka Tingkir menyanggupinya, karena beliau
juga adik ipar dari Pangeran Kalinyamat dan Sunan Prawoto. Jaka Tingkir dibantu
oleh Ki Ageng Panjawi dan Ki Ageng Pamanahan.
Akhirnya Arya
Panangsang dapat ditumbangkan dan sebagai hadiahnya Ki Ageng Panjawi
mendapatkan hadiah tanah pati, dan Ki Ageng Pamanahan mendapat tanah mataram.
2.8
KERUNTUHAN KERAJAAN DEMAK
Setelah wafatnya Sultan Trenggana menimbulkan
kekacauan politik yang hebat di keraton Demak. Negeri-negeri bagian (kadipaten)
berusaha melepaskan diri dan tidak mengakui lagi kekuasaan Demak. Di Demak
sendiri timbul pertentangan di antara para waris yang saling berebut tahta.
Orang yang seharusnya menggantikan kedudukan Sultan Trengggono adalah pengeran
Sekar Seda Ing Lepen. Namun, ia dibunuh oleh Sunan Prawoto yang berharap dapat
mewarisi tahta kerajaan. Adipati Jipang yang beranama Arya Penangsang, anak laki-laki
Pangeran Sekar Seda Ing Lepen, tidak tinggal diam karena ia merasa lebih berhak
mewarisi tahta Demak. Sunan Prawoto dengan beberapa pendukungnya berhasil
dibunuh dan Arya Penangsang berhasil naik tahta.
Akan tetapi, Arya Penangsang tidak berkuasa lama
karena ia kemudian di kalahkan oleh Jaka Tingkir yang di bantu oleh Kiyai Gede
Pamanahan dan putranya Sutawijaya, serta KI Penjawi.
Jaka tingkir
naik tahta dan penobatannya dilakukan oleh Sunan Giri. Setelah menjadi raja, ia
bergelar Sultan Handiwijaya serta memindahkan pusat pemerintahannya dari Demak
ke Pajang pada tahun 1568.
Sultan Handiwijaya sangat menghormati orang-orang yang
telah berjasa. Terutama kepada orang-orang yang dahulu membantu pertempuran
melawan Arya Penangsang. Kyai Ageng Pemanahan mendapatkan tanah Mataram dan
Kyai Panjawi diberi tanah di Pati. Keduanya diangkat menjadibupati di
daerah-daerah tersebut.Sutawijaya, putra Kyai Ageng Pemanahan diangkat menjadi
putra angkat karena jasanya dalam menaklukan Arya Penangsang. Ia pandai dalam
bidang keprajuritan. Setelah Kyai Ageng Pemanahan wafat pada tahun 1575,
Sutawijaya diangkat menjadi penggatinya.
Pada tahun 1582 Sultan Hadiwijaya wafat. Putranya yang
bernama Pangeran Benawa diangkat menjadi penggantinya. Timbul pemberontakan
yang dilakukan oleh Arya Panggiri, putra Sunan Prawoto, ia merasa mempunyai hak
atasa tahta Pajang. Pemberontakan itu dapat digagalkan oleh Pangeran Benawan
dengan bantuan Sutawijaya.Pengeran Benawan menyadari bahwa dirinya lemah, tidak
mamapu mengendalikan pemerintahan, apalagi menghadapi musuh-musuh dan
bupati-bupati yang ingin melepaskan diri dari kekuasaan Pajang kepada saudara
angkatnya, Sutawijaya pada tahun 1586. Pada waktu itu Sutawijaya telah menjabat
bupati Mataram, sehingga pusat kerajaan Pajang dipindahkan ke Mataram.
2.9
DEMAK DIBAWAH KEKUASAAN RAJA – RAJA
MATARAM
Setelah sekitar 1588 Panembahan Senapati berkuasa di
Jawa Tengah sebelah selatan, raja-raja Pati, Demak, dan Grobongan dianggapnya
sebagai sampun kareh (sudah dikuasai). Sekitar 1589 mereka diperintah
ikut dia bersama prajurit Mataram ke Jawa Timur, manaklukan raja-raja Jawa
Timur. Maksud raja Mataram ini gagal, tampaknya terutama karena campur tangan
Sunan Giri. Panembahan Senapati terpaksa kembali ke Mataram dengan tangan
hampa.
Mungkin sekali penguasa Demak, Pati dan Grobongan yang
pada 1589 telah bersikap sebagai taklukan yang patuh itu, sama dengan mereka
yang telah mengakui Sultan Pajang, yang sudah tua dan meninggal pada 1587,
sebagai penguasa tertinggi. Jadi, agaknya Pangeran Kediri di Demak, setelah
mengalami penghinaan di Pajang sebelumnya ternyata masih berhasil memerintah
tanah asalnya beberapa waktu.
Pada 1595 orang Demak memihak raja-raja Jawa Timur,
yang mulai melancarkan serangan terhadap kerajaan Mataram yang belum sempat
berkonsolidasi. Serangan tersebut dapat dipatahkan, tetapi panglima perang
Mataram, Senapati Kediri yang sudah membelot ke Mataram gugur dalam pertempuran
dekat Uter. Sehabis perang, Panembahan mengangkat Ki Mas Sari sebagai adipati
di Demak. Rupanya karena pemimpin pemerintahan yang sebelumnya tidak memuaskan
atau ternyata tidak dapat dipercaya.Tumenggung Endranata I di Demak ini pada
tahun-tahun kemudian agaknya juga tidak bebas dari pengaruh plitik pesisir yang
berlawanan dengan kepantingan Mataram di Pedalaman. Pada tahun 1627 ia terlibat
dalam pertempuran antara penguasa di Pati, Pragola II dan Sultan Agung. Ia di
bunuh dengan keris sebagai pengkhianat atas perintah Sultan Agung.
Sesudah dia masih ada lagi seorang tumenggung
Endranata II yang menjadi bupati di Demak. Tumenggung ini seorang pengikut
setia Susuhunan Mangkurat II di Kartasura yang memerintah Jawa Tengah pada
perempat terakhir abad XVII. Pada tahun 1678 disebutkan adanya Tumenggung
Suranata di Demak.
Sebagai pelabuhan laut agaknya kota Demak sudah tidak
berarti pada akhir abad XVI. Sebagai produsen beras dan hasil pertanian lain,
daerah Demak masih lama mempunyai kedudukan penting dalam ekonomi kerajaan
raja-raja Mataram. Sampai abad XIX di banyak daerah tanah Jawa rasa hormat
pada masjid Demak dan makam-makam Kadilangu masih bertahan di antara kaum
beriman, kota Demak dipandang sebagai tanah suci. Hal itulah yang terutama
menyebabkan nama Demak dalam sejarah Jawa tetap tidak terlupakan di samping
nama Majapahit.
3.1
KESIMPULAN
Kerajaan ini
hanya berumur pendek. Namun, para rajanya merupakan pahlawan-pahlawan mujahid terbaik.
Raja pertama mereka adalah Raden Fatah, yang berhasil menjadikan negerinya
sebagai sebuah negara independen pada masanya. Setelah itu anaknya, Patih Yunus
(Adipati Unus) berkuasa. Dia berhasil mengadakan perluasan wilayah kerajaan.
Dia menghilangkan kerajaan Majapahit yang beragama Hindhu, yang pada saat itu
sebagian wilayahnya menjalin kerja sama dengan orang-orang Portugis.
Setelah wafatnya Patih Yunus pada tahun 938 H/1531 M,
memerintahlah raja paling terkenal dari kerajaan ini yaitu Raden Trenggono
(Sultan Trenggana). Dia adalah seorang mujahid besar yang di antara hasil
usahanya yang terkenal adalah masuknya Islam ke daerah Jawa Barat. Dia wafat
pada tahun 953 H/1546 M.
Kebudayaan yang berkembang di kerajaan Demak bercorak
Islam. Hal tersebut tampak dari peninggalan-peninggalan sejarahnya berupa
masjid, makam, batu nisan, kitab suci Al-Quran, kaligrafi dan karya sastra.
Sampai sekarang pun Demak di kenal sebagai pusat pendidikan agama Islam.
BAB II KERAJAAN MATARAM
A.
KERAJAAN
MATARAM ISLAM
Kerajaan
Mataram didirikan oleh Panembahan Senopati Ing Alag(Sutawijaya) (1584-1601),
pada sekitar abad ke-16. Pusat kerajaan terletakdi Yogyakarta. Ia mempunyai
cita-cita untuk mempersatukan Jawa ke dalam pengaruh kekuasaannya. Untuk itu,
ia melakukan perluasan kekuasaan kedaerah Demak, Madiun, Kediri, Ponorogo,
Tuban, dan Pasuruan. Tetapi cita-citanya itu mendapat rintangan dari
daerah lainnya dan Surabaya tidak dapat ditaklukkan. Para pelaut Belanda
melaporkan tentang ekspedisi Mataram melawan Banten sekitar tahun 1597
yang mengalami kegagalan. Senopati meninggal tahun 1601, dan dimakamkan di
Kota Gede. Ia digantikan oleh putranya bernama Mas Jolang terkenal dengan
nama Panembahan Seda Ing Krapyak (1601-1613).
Pada
tahun 1602, Pangeran Puger, saudara sepupu raja yang telah diangkat
sebagai penguasa Demak melakukan pemberontakan. Pada tahun 1602, Krapyak
dipaksa mundur, namun sekitar 1605 Pangeran Puger berhasil dikalahkannya.
Pada masa kepemimpinan Sultan Agung, Mataram mengalami kejayaan dalam berbagai bidang di antaranya dalam bidang perekonomian. Mataram adalah sebuah negara agraris yang mengutamakan mata pencahariannya dalam bidang pertanian. Kehidupan masyarakatnya berkembang dengan pesat yang didukung oleh hasil bumi yang berupa beras (padi). Di bidang kebudayaan Sultan Agung berhasil membuat Kalender Jawa, yang merupakan perpaduan tahun Saka dengan tahun Hijriyah. Dalam bidang seni sastra, Sultan Agung mengarang kitab sastra gending yang berupa kitab filsafat. Sultan Agung juga menciptakan tradisi Syahadatain (dua kalimah syahadat) atau Sekaten, yang sampai sekarang tetap diadakan di Yogyakarta dan Cirebon setiap tahun.
Tumbuhnya kerajaan Mataram yang bersifat agraris bersamaan dengan tumbuhnya susunan masyarakat feodal. Susunan masyarakat feodal Mataram dibedakan antara penguasa dengan yang dikuasai dan antara pemilik tanah dengan penggarap. Ketika kekuasaan Mataram dibagi-bagi oleh pemerintah kolonial Belanda, sistem feodalisme Mataram tetap dipertahankan. Puncak hierarki masyarakat feodal berada di tangan raja. Untuk melambangkan status kebesaran raja dapat dilihat dari bangunan keratonnya. Sultan Agung membangun Keraton Mataram di Karta dan Sitinggil (Yogyakarta) pada tahun 1614 dan
1625 yang dilengkapi dengan alun-alun, tembok keliling, pepohonan, masjid besar, dan kolam.
Sementara itu, VOC berhasil menduduki Batavia. Sultan Agung berusaha melakukan serangan ke Batavia (markas VOC) pada tahun 1628 dan 1629 dengan tujuan untuk mengusir Belanda dari Batavia, tetapi serangan itu mengalami kegagalan. Serangannya yang pertama pada tahun 1628, membuat beberapa kali benteng VOC terancam jatuh, namun upaya ini belum berhasil, pihak Jawa menderita kerugian besar.
Pada masa kepemimpinan Sultan Agung, Mataram mengalami kejayaan dalam berbagai bidang di antaranya dalam bidang perekonomian. Mataram adalah sebuah negara agraris yang mengutamakan mata pencahariannya dalam bidang pertanian. Kehidupan masyarakatnya berkembang dengan pesat yang didukung oleh hasil bumi yang berupa beras (padi). Di bidang kebudayaan Sultan Agung berhasil membuat Kalender Jawa, yang merupakan perpaduan tahun Saka dengan tahun Hijriyah. Dalam bidang seni sastra, Sultan Agung mengarang kitab sastra gending yang berupa kitab filsafat. Sultan Agung juga menciptakan tradisi Syahadatain (dua kalimah syahadat) atau Sekaten, yang sampai sekarang tetap diadakan di Yogyakarta dan Cirebon setiap tahun.
Tumbuhnya kerajaan Mataram yang bersifat agraris bersamaan dengan tumbuhnya susunan masyarakat feodal. Susunan masyarakat feodal Mataram dibedakan antara penguasa dengan yang dikuasai dan antara pemilik tanah dengan penggarap. Ketika kekuasaan Mataram dibagi-bagi oleh pemerintah kolonial Belanda, sistem feodalisme Mataram tetap dipertahankan. Puncak hierarki masyarakat feodal berada di tangan raja. Untuk melambangkan status kebesaran raja dapat dilihat dari bangunan keratonnya. Sultan Agung membangun Keraton Mataram di Karta dan Sitinggil (Yogyakarta) pada tahun 1614 dan
1625 yang dilengkapi dengan alun-alun, tembok keliling, pepohonan, masjid besar, dan kolam.
Sementara itu, VOC berhasil menduduki Batavia. Sultan Agung berusaha melakukan serangan ke Batavia (markas VOC) pada tahun 1628 dan 1629 dengan tujuan untuk mengusir Belanda dari Batavia, tetapi serangan itu mengalami kegagalan. Serangannya yang pertama pada tahun 1628, membuat beberapa kali benteng VOC terancam jatuh, namun upaya ini belum berhasil, pihak Jawa menderita kerugian besar.
Pada tahun 1629, Sultan Agung mencoba lagi
melakukan serangan kedua. Serangan ini pun ternyata mengalami kegagalan
pasukan-pasukan Mataram mulai bergerak pada akhir Mei, tetapi pada bulan Juli kapal-kapal VOC berhasil menemukan dan menghancurkan gudang-gudang beras dan perahu-perahu di Tegal dan Cirebon yang disiapkan untuk tentara Sultan Agung.
pasukan-pasukan Mataram mulai bergerak pada akhir Mei, tetapi pada bulan Juli kapal-kapal VOC berhasil menemukan dan menghancurkan gudang-gudang beras dan perahu-perahu di Tegal dan Cirebon yang disiapkan untuk tentara Sultan Agung.
Penyerangan terhadap Batavia hanya
bertahan selama beberapa minggu, pihak Sultan Agung banyak mengalami penderitaan
yang disebabkan oleh penyakit dan kelaparan. Pada tahun 1645, Sultan Agung
wafat dan dimakamkan di situs pemakaman di puncak bukit tertinggi di
Imogiri, yang ia buat sebelumnya.
Kerajaan Mataram kemudian dipimpin
oleh putranya, Amangkurat I (1647-1677). Pada masa pemerintahannya,
Mataram mengalami kemunduran karena masuknya pengaruh Belanda. Amangkurat
I dan pengganti-pengganti selanjutnya bekerja samadengan VOC dan penguasa
Belanda. Kesempatan ini dimanfaatkan oleh Belanda untuk menguasai tanah Jawa
yang subur. Belanda berhasil memecah belah Mataram. Pada tahun 1755
dilakukanPerjanjian Giyanti, yang membagi kerajaan Mataram menjadi dua wilayah kerajaan,
yaitu:
1. Daerah kesultanan
Yogyakarta yang dikenal dengan nama Ngayogyakarta Hadiningrat dipimpin oleh
Mangkubumi sebagai rajanya dengan gelar Sultan Hamengkubuwono I.
2. Daerah Kasunanan
Surakarta, dipimpin oleh Susuhunan Pakubuwono. Campur tangan Belanda mengakibatkan kerajaan
Mataram terbagi menjadi beberapa bagian, sehingga pada tahun 1813 terdapat empat keluarga raja yang masing-masing memiliki wilayah
kekuasaan, yaitu: Kerajaan Yogyakarta,Kasunanan Surakarta, Pakualaman, dan
Mangkunegaran.
B.
PETA
KERAJAAN MATARAM
BAB III
KESULTAN CIREBON
Menurut Sulendraningrat yang mendasarkan pada
naskah Babad Tanah Sunda dan Atja pada naskah Carita Purwaka Caruban Nagari, Cirebon pada
awalnya adalah sebuah dukuh kecil yang dibangun oleh Ki Gedeng Tapa, yang
lama-kelamaan berkembang menjadi sebuah desa yang ramai dan diberi nama Caruban
(Bahasa Sunda: campuran),
karena di sana bercampur para pendatang dari berbagai macam suku bangsa, agama,
bahasa, adat istiadat, dan mata pencaharian yang berbeda-beda untuk bertempat
tinggal atau berdagang.
Mengingat pada awalnya sebagian besar mata pencaharian
masyarakat adalah sebagai nelayan, maka berkembanglah pekerjaan menangkap ikan
dan rebon (udang kecil) di sepanjang pantai serta pembuatan terasi, petis, dan
garam. Dari istilah air bekas pembuatan terasi (belendrang) dari udang
rebon inilah berkembanglah sebutan cai-rebon (Bahasa Sunda:, air rebon)
yang kemudian menjadi Cirebon.
Dengan dukungan pelabuhan yang ramai dan sumber daya
alam dari pedalaman, Cirebon kemudian menjadi sebuah kota besar dan menjadi
salah satu pelabuhan penting di pesisir utara Jawa baik dalam kegiatan
pelayaran dan perdagangan di kepulauan Nusantara maupun
dengan bagian dunia lainnya. Selain itu, Cirebon tumbuh menjadi cikal bakal
pusat penyebaran agama Islam di Jawa Barat.
1.
Perkembangan awal
A. Ki Gedeng
Tapa
Ki Gedeng Tapa (atau juga dikenal
dengan nama Ki Gedeng Jumajan Jati) adalah seorang saudagar kaya di pelabuhan
Muarajati, Cirebon. Ia mulai membuka hutan ilalang dan membangun sebuah gubug
dan sebuah tajug (Jalagrahan) pada tanggal 1 Syura 1358 (tahun Jawa) bertepatan
dengan tahun 1445 Masehi. Sejak saat itu, mulailah para pendatang mulai menetap
dan membentuk masyarakat baru di desa Caruban.
B. Ki Gedeng
Alang-Alang
Kuwu atau kepala desa Caruban yang pertama yang
diangkat oleh masyarakat baru itu adalah Ki Gedeng Alang-alang. Sebagai Pangraksabumi
atau wakilnya, diangkatlah Raden Walangsungsang, yaitu putra Prabu Siliwangi
dan Nyi Mas Subanglarang atau Subangkranjang, yang tak lain adalah puteri dari
Ki Gedeng Tapa. Setelah Ki Gedeng Alang-alang wafat, Walangsungsang yang juga
bergelar Ki Cakrabumi diangkat menjadi penggantinya sebagai kuwu yang kedua,
dengan gelar Pangeran Cakrabuana.
C.
Pangeran Cakrabuana
Pangeran Cakrabuana adalah keturunan Pajajaran. Putera
pertama Sri Baduga Maharaja Prabu Siliwangi dari istrinya yang pertamanya bernama
Subanglarang (puteri Ki Gedeng Tapa). Raden Walangsungsang, ia mempunyai dua
orang saudara seibu, yaitu Nyai Rara Santang dan Raden Kian Santang. Sebagai
anak sulung dan laki-laki ia tidak mendapatkan haknya sebagai putera mahkota
Pakuan Pajajaran. Hal ini disebabkan oleh karena ia memeluk agama Islam
(diturunkan oleh Subanglarang - ibunya), sementara saat itu (abad 16) ajaran
agama mayoritas di Pajajaran adalah Sunda Wiwitan (agama leluhur orang Sunda)
Hindu dan Budha. Posisinya digantikan oleh adiknya, Prabu Surawisesa, anak
laki-laki Prabu Siliwangi dari istrinya yang kedua Nyai Cantring Manikmayang.
Ketika kakeknya
Ki Gedeng Tapa yang penguasa pesisir utara Jawa meninggal, Walangsungsang tidak
meneruskan kedudukan kakeknya, melainkan lalu mendirikan istana Pakungwati dan
membentuk pemerintahan di Cirebon. Dengan demikian, yang dianggap sebagai
pendiri pertama Kesultanan Cirebon adalah Walangsungsang atau Pangeran
Cakrabuana. Pangeran Cakrabuana, yang usai menunaikan ibadah haji kemudian
disebut Haji Abdullah Iman, tampil sebagai "raja" Cirebon pertama
yang memerintah dari keraton Pakungwati dan aktif menyebarkan agama Islam
kepada penduduk Cirebon.
2.
Pendirian
Pendirian kesultanan ini sangat
berkaitan erat dengan keberadaan Kesultanan Demak, Kesultanan
Cirebon didirikan pada tahun 1552 oleh
panglima kesultanan Demak, kemudian yang menjadi Sultan Cirebon ini wafat pada tahun 1570 dan
digantikan oleh putranya yang masih sangat muda waktu itu.[2] Berdasarkan
berita dari klenteng Talang dan
Semarang, tokoh utama pendiri Kesultanan Cirebon ini dianggap identik dengan
tokoh pendiri Kesultanan Banten yaitu Sunan Gunung Jati.[2]
Sunan Gunung Jati (1479-1568)
Lukisan
Sunan Gunung Jati
Pada tahun 1479 M, kedudukannya kemudian digantikan
putra adiknya, Nyai Rarasantang dari hasil perkawinannya dengan Syarif Abdullah
dari Mesir, yakni
Syarif Hidayatullah (1448-1568) yang setelah wafat dikenal dengan sebutan Sunan Gunung Jati dengan
gelar Tumenggung Syarif Hidayatullah bin Maulana Sultan Muhammad Syarif
Abdullah dan bergelar pula sebagai Ingkang Sinuhun Kangjeng Susuhunan Jati
Purba Panetep Panatagama Awlya Allah Kutubid Jaman Khalifatur Rasulullah.
Pertumbuhan dan perkembangan yang pesat pada
Kesultanan Cirebon dimulailah oleh Syarif Hidayatullah atau Sunan Gunung Jati.
Sunan Gunung Jati kemudian diyakini sebagai pendiri dinasti raja-raja
Kesultanan Cirebon dan Kesultanan Banten serta
penyebar agama Islam di Jawa Barat seperti Majalengka, Kuningan, Kawali (Galuh), Sunda Kelapa, dan Banten.[3]
Fatahillah (1568-1570)
Kekosongan pemegang kekuasaan itu
kemudian diisi dengan mengukuhkan pejabat keraton yang selama Sunan Gunung Jati
melaksanakan tugas dakwah, pemerintahan dijabat oleh Fatahillah atau Fadillah
Khan. Fatahillah kemudian naik takhta, dan memerintah Cirebon secara resmi
menjadi raja sejak tahun 1568. Fatahillah menduduki takhta kerajaan Cirebon
hanya berlangsung dua tahun karena ia meninggal dunia pada tahun 1570, dua
tahun setelah Sunan Gunung Jati wafat dan dimakamkan berdampingan dengan makam
Sunan Gunung Jati di Gedung Jinem Astana Gunung Sembung.
Panembahan Ratu I (1570-1649)
Sepeninggal Fatahillah, oleh karena
tidak ada calon lain yang layak menjadi raja, takhta kerajaan jatuh kepada cucu
Sunan Gunung Jati yaitu Pangeran Mas, putra tertua Pangeran Dipati Carbon atau
cicit Sunan Gunung Jati. Pangeran Emas kemudian bergelar Panembahan Ratu I dan
memerintah Cirebon selama kurang lebih 79 tahun.
Panembahan Ratu II (1649-1677)
Setelah Panembahan Ratu I meninggal
dunia pada tahun 1649, pemerintahan Kesultanan Cirebon dilanjutkan oleh cucunya
yang bernama Pangeran Rasmi atau Pangeran Karim, karena ayah Pangeran Rasmi
yaitu Pangeran Seda ing Gayam atau Panembahan Adiningkusumah meninggal lebih
dahulu. Pangeran Rasmi kemudian menggunakan nama gelar ayahnya almarhum yakni
Panembahan Adiningkusuma yang kemudian dikenal pula dengan sebutan Panembahan
Girilaya atau Panembahan Ratu II.
Panembahan Girilaya pada masa pemerintahannya terjepit
di antara dua kekuatan kekuasaan, yaitu Kesultanan Banten dan Kesultanan
Mataram. Banten merasa curiga sebab Cirebon dianggap lebih mendekat ke Mataram
(Amangkurat I adalah mertua Panembahan Girilaya). Mataram dilain pihak merasa
curiga bahwa Cirebon tidak sungguh-sungguh mendekatkan diri, karena Panembahan
Girilaya dan Sultan Ageng Tirtayasa dari Banten adalah sama-sama keturunan
Pajajaran. Kondisi ini memuncak dengan meninggalnya Panembahan Girilaya di
Kartasura dan ditahannya Pangeran Martawijaya dan Pangeran Kartawijaya di
Mataram.
Panembahan Girilaya adalah menantu Sultan Agung
Hanyakrakusuma dari Kesultanan Mataram. Makamnya di Jogjakarta, di bukit
Girilaya, dekat dengan makam raja raja Mataram di Imogiri, Kabupaten Bantul.
Menurut beberapa sumber di Imogiri maupun Girilaya, tinggi makam Panembahan
Girilaya adalah sejajar dengan makam Sultan Agung di Imogiri.
3.
Terpecahnya Kesultanan Cirebon
Dengan kematian Panembahan Girilaya, maka terjadi
kekosongan penguasa. Pangeran Wangsakerta yang bertanggung jawab atas pemerintahan
di Cirebon selama ayahnya tidak berada di tempat, khawatir atas nasib kedua
kakaknya. Kemudian ia pergi ke Banten untuk meminta bantuan Sultan Ageng
Tirtayasa (anak dari Pangeran Abu Maali yang tewas dalam Perang Pagarage), dia
mengiyakan permohonan tersebut karena melihat peluang untuk memperbaiki
hubungan diplomatik Banten-Cirebon. Dengan bantuan Pemberontak Trunojoyo yang
disokong oleh Sultan Ageng Tirtayasa,kedua Pangeran tersebut berhasil
diselamatkan.
Namun rupanya, Sultan Ageng Tirtayasa melihat ada
keuntungan lain dari bantuannya pada kerabatnya di Cirebon itu, maka ia
mengangkat kedua Pangeran yang ia selamatkan sebagai Sultan,Pangeran
Mertawijaya sebagai Sultan Kasepuhan & Pangeran Kertawijaya sebagai Sultan
Kanoman,sedangkan Pangeran Wangsakerta yang telah bekerja keras selama 10 tahun
lebih hanya diberi jabatan kecil, taktik pecah belah ini dilakukan untuk
mencegah agar Cirebon tidak beraliansi lagi dengan Mataram.
ü
Perpecahan I (1677)
Pembagian pertama terhadap
Kesultanan Cirebon, dengan demikian terjadi pada masa penobatan tiga orang
putra Panembahan Girilaya, yaitu Sultan Sepuh, Sultan Anom, dan Panembahan
Cirebon pada tahun 1677. Ini merupakan babak baru bagi keraton Cirebon, dimana
kesultanan terpecah menjadi tiga dan masing-masing berkuasa dan menurunkan para
sultan berikutnya. Dengan demikian, para penguasa Kesultanan Cirebon berikutnya
adalah:
- Sultan Keraton Kasepuhan, Pangeran Martawijaya, dengan gelar Sultan Sepuh Abil Makarimi Muhammad Samsudin (1677-1703)
- Sultan Kanoman, Pangeran Kartawijaya, dengan gelar Sultan Anom Abil Makarimi Muhammad Badrudin (1677-1723)
- Pangeran Wangsakerta, sebagai Panembahan Cirebon dengan gelar Pangeran Abdul Kamil Muhammad Nasarudin atau Panembahan Tohpati (1677-1713).
Perubahan gelar dari Panembahan
menjadi Sultan bagi dua putra tertua Pangeran Girilaya ini dilakukan oleh
Sultan Ageng Tirtayasa, karena keduanya dilantik menjadi Sultan Cirebon di ibukota Banten. Sebagai
sultan, mereka mempunyai wilayah kekuasaan penuh, rakyat, dan keraton
masing-masing. Pangeran Wangsakerta tidak diangkat menjadi sultan melainkan
hanya Panembahan. Ia tidak memiliki wilayah kekuasaan atau keraton sendiri,
akan tetapi berdiri sebagai kaprabonan (paguron), yaitu tempat
belajar para intelektual keraton. Dalam tradisi kesultanan di Cirebon, suksesi
kekuasaan sejak tahun 1677 berlangsung sesuai dengan tradisi keraton, di mana
seorang sultan akan menurunkan takhtanya kepada anak laki-laki tertua dari
permaisurinya. Jika tidak ada, akan dicari cucu atau cicitnya. Jika terpaksa,
maka orang lain yang dapat memangku jabatan itu sebagai pejabat sementara.
ü
Perpecahan II (1807)
Suksesi para sultan selanjutnya pada umumnya berjalan
lancar, sampai pada masa pemerintahan Sultan Anom IV (1798-1803), dimana
terjadi perpecahan karena salah seorang putranya, yaitu Pangeran Raja Kanoman,
ingin memisahkan diri membangun kesultanan sendiri dengan nama Kesultanan Kacirebonan.
Kehendak Pangeran Raja Kanoman didukung oleh
pemerintah Kolonial Belanda dengan keluarnya besluit (Bahasa Belanda: surat
keputusan) Gubernur-Jendral Hindia Belanda yang
mengangkat Pangeran Raja Kanoman menjadi Sultan Carbon Kacirebonan tahun 1807
dengan pembatasan bahwa putra dan para penggantinya tidak berhak atas gelar
sultan, cukup dengan gelar pangeran. Sejak itu di Kesultanan Cirebon bertambah
satu penguasa lagi, yaitu Kesultanan Kacirebonan, pecahan dari Kesultanan
Kanoman. Sementara takhta Sultan
Kanoman V jatuh pada putra Sultan Anom IV yang lain bernama Sultan Anom Abusoleh
Imamuddin (1803-1811).
4.
Masa kolonial dan kemerdekaan
Sesudah kejadian tersebut, pemerintah Kolonial Belanda
pun semakin dalam ikut campur dalam mengatur Cirebon, sehingga semakin surutlah
peranan dari keraton-keraton Kesultanan Cirebon di wilayah-wilayah
kekuasaannya. Puncaknya terjadi pada tahun-tahun 1906 dan 1926, dimana
kekuasaan pemerintahan Kesultanan Cirebon secara resmi dihapuskan dengan
disahkannya Gemeente Cheirebon (Kota Cirebon), yang mencakup luas 1.100 Hektar,
dengan penduduk sekitar 20.000 jiwa (Stlb. 1906 No. 122 dan Stlb. 1926 No.
370). Tahun 1942, Kota Cirebon kembali diperluas menjadi 2.450 hektare. Pada
masa kemerdekaan, wilayah Kesultanan Cirebon menjadi bagian yang tidak
terpisahkan dari Negara Kesatuan Republik Indonesia. Secara umum, wilayah Kesultanan Cirebon tercakup
dalam Kota Cirebon dan Kabupaten Cirebon, yang secara administratif
masing-masing dipimpin oleh pejabat pemerintah Indonesia yaitu walikota dan
bupati.
5.
Perkembangan terakhir
Setelah masa kemerdekaan Indonesia, Kesultanan Cirebon
tidak lagi merupakan pusat dari pemerintahan dan pengembangan agama Islam.
Meskipun demikian keraton-keraton yang ada tetap menjalankan perannya sebagai
pusat kebudayaan masyarakat khususnya di wilayah Cirebon dan sekitarnya.
Kesultanan Cirebon turut serta dalam berbagai upacara dan perayaan adat
masyarakat dan telah beberapa kali ambil bagian dalam Festival Keraton Nusantara (FKN).
Umumnya, Keraton Kasepuhan sebagai istana Sultan Sepuh
dianggap yang paling penting karena merupakan keraton tertua yang berdiri tahun
1529, sedangkan Keraton Kanoman sebagai istana Sultan Anom berdiri tahun 1622,
dan yang terkemudian adalah Keraton Kacirebonan dan Keraton Kaprabonan. Pada
awal bulan Maret 2003, telah terjadi konflik internal di keraton Kanoman,
antara Pangeran Raja Muhammad Emirudin dan Pangeran Elang Muhammad Saladin, untuk
pengangkatan takhta Sultan Kanoman XII. Pelantikan kedua sultan ini
diperkirakan menimbulkan perpecahan di kalangan kerabat keraton tersebut
6. Puncak kejayaan
Kesultanan Banten merupakan kerajaan maritim dan mengandalkan
perdagangan
dalam menopang perekonomiannya. Monopoli atas perdagangan lada di Lampung,
menempatkan penguasa Banten sekaligus sebagai pedagang
perantara dan Kesultanan Banten berkembang pesat, menjadi salah satu pusat
niaga yang penting pada masa itu.[9]
Perdagangan laut berkembang ke seluruh Nusantara, Banten menjadi kawasan
multi-etnis. Dibantu orang Inggris, Denmark dan Tionghoa, Banten berdagang dengan Persia, India, Siam, Vietnam,
Filipina,
Cina dan Jepang.
Sultan Ageng Tirtayasa (bertahta
1651-1682) dipandang sebagai masa kejayaan Banten. Di bawah dia, Banten
memiliki armada yang mengesankan, dibangun atas contoh Eropa, serta juga telah mengupah
orang Eropa bekerja pada Kesultanan Banten. Dalam mengamankan jalur
pelayarannya Banten juga mengirimkan armada lautnya ke Sukadana atau Kerajaan Tanjungpura (Kalimantan
Barat sekarang) dan menaklukkannya tahun 1661. Pada masa ini Banten
juga berusaha keluar dari tekanan yang dilakukan VOC, yang sebelumnya telah
melakukan blokade
atas kapal-kapal dagang menuju Banten.
7. Perang saudara
Sekitar tahun 1680 muncul perselisihan
dalam Kesultanan Banten, akibat perebutan kekuasaan dan pertentangan antara
Sultan Ageng dengan putranya Sultan Haji. Perpecahan ini dimanfaatkan oleh Vereenigde Oostindische Compagnie
(VOC) yang memberikan dukungan kepada Sultan Haji, sehingga perang saudara
tidak dapat dielakkan. Sementara dalam memperkuat posisinya, Sultan Haji atau Sultan Abu Nashar Abdul Qahar
juga sempat mengirimkan 2 orang utusannya, menemui Raja Inggris
di London tahun 1682
untuk mendapatkan dukungan serta bantuan persenjataan.[1]
Dalam perang ini Sultan Ageng terpaksa mundur dari istananya dan pindah ke
kawasan yang disebut dengan Tirtayasa, namun pada 28 Desember
1682 kawasan ini juga
dikuasai oleh Sultan Haji bersama VOC. Sultan Ageng bersama putranya yang lain Pangeran Purbaya
dan Syekh Yusuf
dari Makasar
mundur ke arah selatan pedalaman Sunda. Namun pada 14 Maret
1683 Sultan Ageng
tertangkap kemudian ditahan di Batavia.
BAB IV
KESULTANAN BANTEN
Kesultanan Banten merupakan sebuah
kerajaan Islam yang pernah berdiri di Provinsi Banten, Indonesia. Berawal
sekitar tahun 1526, ketika Kerajaan Demak memperluas pengaruhnya ke kawasan
pesisir barat Pulau Jawa, dengan menaklukan beberapa kawasan pelabuhan kemudian
menjadikannya sebagai pangkalan militer serta kawasan perdagangan.
Pada awalnya kawasan Banten juga dikenal dengan Banten Girang merupakan bagian dari Kerajaan Sunda. Kedatangan pasukan Kerajaan Demak di bawah pimpinan Maulana Hasanuddin ke kawasan tersebut selain untuk perluasan wilayah juga sekaligus penyebaran dakwah Islam. Kemudian dipicu oleh adanya kerjasama Sunda-Portugal dalam bidang ekonomi dan politik, hal ini dianggap dapat membahayakan kedudukan Kerajaan Demak selepas kekalahan mereka mengusir Portugal dari Melaka tahun 1513. Atas perintah Trenggana, bersama dengan Fatahillah melakukan penyerangan dan penaklukkan Pelabuhan Kelapa sekitar tahun 1527, yang waktu itu masih merupakan pelabuhan utama dari Kerajaan Sunda.
Selain mulai membangun benteng pertahanan di Banten, Maulana Hasanuddin juga melanjutkan perluasan kekuasaan ke daerah penghasil lada di Lampung. Ia berperan dalam penyebaran Islam di kawasan tersebut, selain itu ia juga telah melakukan kontak dagang dengan raja Malangkabu (Minangkabau, Kerajaan Inderapura), Sultan Munawar Syah dan dianugerahi keris oleh raja tersebut.
Seiring dengan kemunduran Demak terutama setelah meninggalnya Trenggono, Banten yang sebelumnya bagian dari Kerajaan Demak, mulai melepaskan diri dan menjadi kerajaan yang mandiri. Maulana Yusuf anak dari Maulana Hasanuddin, naik tahta pada tahun 1570 melanjutkan ekspansi Banten ke kawasan pedalaman Sunda dengan menaklukkan Pakuan Pajajaran tahun 1579. Kemudian ia digantikan anaknya Maulana Muhammad, yang mencoba menguasai Palembang tahun 1596 sebagai bagian dari usaha Banten dalam mempersempit gerakan Portugal di nusantara, namun gagal karena ia meninggal dalam penaklukkan tersebut.
Pada masa Sultan Ageng Tirtayasa bertahta pada tahun 1651-1682 dipandang sebagai masa kejayaan Banten. Di bawah dia, Banten memiliki armada yang mengesankan, dibangun atas contoh Eropa, serta juga telah mengupah orang Eropa bekerja pada Kesultanan Banten. Dalam mengamankan jalur pelayarannya Banten juga mengirimkan armada lautnya ke Sukadana atau Kerajaan Tanjungpura (Kalimantan Barat sekarang) dan menaklukkannya tahun 1661. Pada masa ini Banten juga berusaha keluar dari tekanan yang dilakukan VOC, yang sebelumnya telah melakukan blokade atas kapal-kapal dagang menuju Banten.
Sekitar tahun 1680 muncul perselisihan dalam Kesultanan Banten, akibat perebutan kekuasaan dan pertentangan antara Sultan Ageng dengan putranya Sultan Haji. Perpecahan ini dimanfaatkan oleh VOC yang memberikan dukungan kepada Sultan Haji, sehingga perang saudara tidak dapat dielakkan. Sementara dalam memperkuat posisinya, Sultan Haji atau Sultan Abu Nashar Abdul Qahar juga sempat mengirimkan 2 orang utusannya, menemui Raja Inggris di London tahun 1682 untuk mendapatkan dukungan serta bantuan persenjataan.
Pada awalnya kawasan Banten juga dikenal dengan Banten Girang merupakan bagian dari Kerajaan Sunda. Kedatangan pasukan Kerajaan Demak di bawah pimpinan Maulana Hasanuddin ke kawasan tersebut selain untuk perluasan wilayah juga sekaligus penyebaran dakwah Islam. Kemudian dipicu oleh adanya kerjasama Sunda-Portugal dalam bidang ekonomi dan politik, hal ini dianggap dapat membahayakan kedudukan Kerajaan Demak selepas kekalahan mereka mengusir Portugal dari Melaka tahun 1513. Atas perintah Trenggana, bersama dengan Fatahillah melakukan penyerangan dan penaklukkan Pelabuhan Kelapa sekitar tahun 1527, yang waktu itu masih merupakan pelabuhan utama dari Kerajaan Sunda.
Selain mulai membangun benteng pertahanan di Banten, Maulana Hasanuddin juga melanjutkan perluasan kekuasaan ke daerah penghasil lada di Lampung. Ia berperan dalam penyebaran Islam di kawasan tersebut, selain itu ia juga telah melakukan kontak dagang dengan raja Malangkabu (Minangkabau, Kerajaan Inderapura), Sultan Munawar Syah dan dianugerahi keris oleh raja tersebut.
Seiring dengan kemunduran Demak terutama setelah meninggalnya Trenggono, Banten yang sebelumnya bagian dari Kerajaan Demak, mulai melepaskan diri dan menjadi kerajaan yang mandiri. Maulana Yusuf anak dari Maulana Hasanuddin, naik tahta pada tahun 1570 melanjutkan ekspansi Banten ke kawasan pedalaman Sunda dengan menaklukkan Pakuan Pajajaran tahun 1579. Kemudian ia digantikan anaknya Maulana Muhammad, yang mencoba menguasai Palembang tahun 1596 sebagai bagian dari usaha Banten dalam mempersempit gerakan Portugal di nusantara, namun gagal karena ia meninggal dalam penaklukkan tersebut.
Pada masa Sultan Ageng Tirtayasa bertahta pada tahun 1651-1682 dipandang sebagai masa kejayaan Banten. Di bawah dia, Banten memiliki armada yang mengesankan, dibangun atas contoh Eropa, serta juga telah mengupah orang Eropa bekerja pada Kesultanan Banten. Dalam mengamankan jalur pelayarannya Banten juga mengirimkan armada lautnya ke Sukadana atau Kerajaan Tanjungpura (Kalimantan Barat sekarang) dan menaklukkannya tahun 1661. Pada masa ini Banten juga berusaha keluar dari tekanan yang dilakukan VOC, yang sebelumnya telah melakukan blokade atas kapal-kapal dagang menuju Banten.
Sekitar tahun 1680 muncul perselisihan dalam Kesultanan Banten, akibat perebutan kekuasaan dan pertentangan antara Sultan Ageng dengan putranya Sultan Haji. Perpecahan ini dimanfaatkan oleh VOC yang memberikan dukungan kepada Sultan Haji, sehingga perang saudara tidak dapat dielakkan. Sementara dalam memperkuat posisinya, Sultan Haji atau Sultan Abu Nashar Abdul Qahar juga sempat mengirimkan 2 orang utusannya, menemui Raja Inggris di London tahun 1682 untuk mendapatkan dukungan serta bantuan persenjataan.
Dalam perang
ini Sultan Ageng terpaksa mundur dari istananya dan pindah ke kawasan yang
disebut dengan Tirtayasa, namun pada 28 Desember 1682 kawasan ini juga dikuasai
oleh Sultan Haji bersama VOC. Sultan Ageng bersama putranya yang lain Pangeran
Purbaya dan Syekh Yusuf dari Makasar mundur ke arah selatan pedalaman Sunda.
Namun pada 14 Maret 1683 Sultan Ageng tertangkap kemudian ditahan di Batavia.
Sementara VOC terus mengejar dan mematahkan perlawanan pengikut Sultan Ageng yang masih berada dalam pimpinan Pangeran Purbaya dan Syekh Yusuf. Pada 5 Mei 1683, VOC mengirim Untung Surapati yang berpangkat letnan beserta pasukan Balinya, bergabung dengan pasukan pimpinan Letnan Johannes Maurits van Happel menundukkan kawasan Pamotan dan Dayeuh Luhur, di mana pada 14 Desember 1683 mereka berhasil menawan Syekh Yusuf. Sementara setelah terdesak akhirnya Pangeran Purbaya menyatakan menyerahkan diri. Kemudian Untung Surapati disuruh oleh Kapten Johan Ruisj untuk menjemput Pangeran Purbaya, dan dalam perjalanan membawa Pangeran Purbaya ke Batavia, mereka berjumpa dengan pasukan VOC yang dipimpin oleh Willem Kuffeler, namun terjadi pertikaian di antara mereka, puncaknya pada 28 Januari 1684, pos pasukan Willem Kuffeler dihancurkan, dan berikutnya Untung Surapati beserta pengikutnya menjadi buronan VOC. Sedangkan Pangeran Purbaya sendiri baru pada 7 Februari 1684 sampai di Batavia.
Sementara VOC terus mengejar dan mematahkan perlawanan pengikut Sultan Ageng yang masih berada dalam pimpinan Pangeran Purbaya dan Syekh Yusuf. Pada 5 Mei 1683, VOC mengirim Untung Surapati yang berpangkat letnan beserta pasukan Balinya, bergabung dengan pasukan pimpinan Letnan Johannes Maurits van Happel menundukkan kawasan Pamotan dan Dayeuh Luhur, di mana pada 14 Desember 1683 mereka berhasil menawan Syekh Yusuf. Sementara setelah terdesak akhirnya Pangeran Purbaya menyatakan menyerahkan diri. Kemudian Untung Surapati disuruh oleh Kapten Johan Ruisj untuk menjemput Pangeran Purbaya, dan dalam perjalanan membawa Pangeran Purbaya ke Batavia, mereka berjumpa dengan pasukan VOC yang dipimpin oleh Willem Kuffeler, namun terjadi pertikaian di antara mereka, puncaknya pada 28 Januari 1684, pos pasukan Willem Kuffeler dihancurkan, dan berikutnya Untung Surapati beserta pengikutnya menjadi buronan VOC. Sedangkan Pangeran Purbaya sendiri baru pada 7 Februari 1684 sampai di Batavia.
Untung Surapati
Setelah
meninggalnya Sultan Haji tahun 1687, VOC mulai mencengkramkan pengaruhnya di
Kesultanan Banten, sehingga pengangkatan para Sultan Banten mesti mendapat
persetujuan dari Gubernur Jendral Hindia-Belanda di Batavia. Sultan Abu Fadhl
Muhammad Yahya diangkat mengantikan Sultan Haji namun hanya berkuasa sekitar
tiga tahun, selanjutnya digantikan oleh saudaranya Pangeran Adipati dengan
gelar Sultan Abul Mahasin Muhammad Zainul Abidin dan kemudian dikenal juga
dengan gelar Kang Sinuhun ing Nagari Banten.
Pada tahun
1808 Herman Willem Daendels, Gubernur Jenderal Hindia Belanda 1808-1810,
memerintahkan pembangunan Jalan Raya Pos untuk mempertahankan pulau Jawa dari
serangan Inggris. Daendels memerintahkan Sultan Banten untuk memindahkan ibu
kotanya ke Anyer dan menyediakan tenaga kerja untuk membangun pelabuhan yang
direncanakan akan dibangun di Ujung Kulon.
Sultan
menolak perintah Daendels, sebagai jawabannya Daendels memerintahkan
penyerangan atas Banten dan penghancuran Istana Surosowan. Sultan beserta
keluarganya disekap di Puri Intan (Istana Surosowan) dan kemudian dipenjarakan
di Benteng Speelwijk.
Sultan Abul
Nashar Muhammad Ishaq Zainulmutaqin kemudian diasingkan dan dibuang ke Batavia.
Pada 22 November 1808, Daendels mengumumkan dari markasnya di Serang bahwa
wilayah Kesultanan Banten telah diserap ke dalam wilayah Hindia Belanda. Kesultanan
Banten resmi dihapuskan tahun 1813 oleh pemerintah kolonial Inggris. Pada tahun
itu, Sultan Muhammad bin Muhammad Muhyiddin Zainussalihin dilucuti dan dipaksa
turun tahta oleh Thomas Stamford Raffles. Peristiwa ini merupakan pukulan
pamungkas yang mengakhiri riwayat Kesultanan Banten.
BAB V
PENUTUP
PENUTUP
1.
Kesimpulan
Seiring perkembangan zaman yang begitu cepat, kerajaan kerajaan di Indonesia mulai di
lupakan oleh masyarakat. Oleh karena itu kita sebagai pelajar dan generasi muda
di Indonesia wajib tetap mengenang dan melestarikan peninggalan peninggalan
kerajaan di Indonesia yang begitu melimpah. Setidaknya kita mengetahui akan
peninggalan di pulau tempat tinggal kita ini yaitu Pulau Jawa yang
menyimpan banyak sekali sejarah sejarah yang dapat kita ambil khikmahnya.
Di
kerajaan islam di Jawa banyak sekali pelajaran yang dapat kita ambil khikmahnya
antara lain yaitu tidak mudah putus asa dalam meraih tujuan yang kita telah
rencanakan dan kita telah impikan. Penyebaran agama islam juga sangat
berpengaruh sampai sekarang ini sehingga agama islam tetap dapat lestari.
2. Saran
Makalah ini diharapkan dapat menjadi bahan
maupun referensi pengetahuan mengenai Kerajaan-Kerajaan Islam di Indonesia.
Namun, kritik dan saran yang membangun sangat diharapkan, karena melihat masih
banyak hal-hal yang belum bisa dikaji lebih mendalam dalam makalah ini.
DAFTAR PUSTAKA
Adnan
Sekecake, Peta dan Kerajaan Demak, http://
warungbaca9.blogspot.com, Senin 09 January 2012, Jam 20:00
Ahmad
al-Usairy, 2003,Sejarah Islam Sejak Zaman Nabi Adam Hingga Abad XX,
Jakarta: Akbar Media Eka Sarana
H.J. De
Graaf dan TH. Pigeaud, 2003, Kerajaan Islam Pertama di Jawa,
Jakarta: PT. Pustaka Utama Grafiti
I Wayan
Badrika, 2006, Sejarah untuk SMA kelas XI, Jakarta:Erlangga
Muljana,
Slamet. Runtuhnya Kerajaan Jindu-Jawa dan Timbulnya Negara-Negara
Islam di Nusantara (terbitan ulang 1968). Yogyakarta: LKIS. 2005
Poesponegoro,
Marwati Djoened dan Nugroho Notosusanto. Sejarah Nasional Indonesia
Jilid II. Edisi ke-4. Jakarta: Balai Pustaka . 1993.
Ridwanaz, Sejarah
Agama Islam Di Indonesia (Kerajaan Demak), http//ridwanaz.com,
Minggu 08 January 2012, jam 14:00
https://www.google.com/search?q=candi+sari&ie=utf-8&oe=utf-
8&aq=t&rls=org.mozilla:en-US:official&client=firefox-a&channel=fflb
https://www.google.com/search?q=candi+srikandi&ie=utf-8&oe=utf-8&aq=t&rls=org.mozilla:en-US:official&client=firefox-a&channel=fflb
https://www.google.com/search?q=candi+sembrada&ie=utf-8&oe=utf-8&aq=t&rls=org.mozilla:en-US:official&client=firefox-a&channel=fflb
Tidak ada komentar:
Posting Komentar