Al-‘Adl artinya Maha Adil.
Keadillan Alloh SWT.bersifat mutlak, tidak dipengaruhi oleh apapun dan oleh
siapa pun. Keadillan Alloh juga didasari dengan ilmu Alloh yang Maha Luas.
Sehingga tidak mungkin keputusan-Nya salah.
Allah Mahaadil
Dalam arti, Dia
tidak akan menghilangkan hak seseorang. Dia juga akan senantiasa mencurahkan
karunia-Nya kepada setiap makhluk sesuai dengan ketentuan alam yang berpijak di
atas kebijaksanaan-Nya. Kezaliman berarti menghilangkan atau merampas hak
secara paksa. Kalau memang demikian, maka makna keadilan dan kezaliman tak lain
dari sesuatu hal yang berhubungan erat dengan keberadaan hak tertentu.
Sekarang, marilah
kita telah bersama, apakah Allah memiliki tuntutan tertentu? Apakah seluruh
makhluk yang ada sejak pertama kali diciptakan telah memiliki suatu hak, untuk
kemudian diabaikan, dirampas, dan dilenyapkan? Apakah sejak dahulu kala kita
telah memiliki sesuatu (hak) untuk kemudian lenyap oleh suatu kezaliman?
Yang jelas, di jagat
alam ini, terdapat pelbagai ciptaan dalam bentuknya yang berbeda satu sama
lain. Sebagian benda mati, sebagian lain benda hidup. Sebagian binatang,
sebagian lainnya manusia. Akan tetapi, seluruh ciptaan tersebut sebelumnya sama
sekali tidak memiliki hak eksistensial apapun, yang kemudian bisa dikatakan
tidak diakui atau bahkan dirampas dan dilenyapkan.
Keadilan:
Prinsip Agama
Sekalipun Allah memiliki cukup
banyak sifat seperti MAllahijaksana, Mahakuasa, Mahatahu, dan seterusnya,
lantas mengapa justru konsep keadilan, dan bukan salah satu dari sifat di atas,
yang dijadikan prinsip keagamaan?
Mengapa tidak dikatakan bahwa prinsip keagamaan yang pertama adalah
tauhid, sedangkan yang kedua adalah hidup (al-hayah) atau Mahamengetahui
(al-'alim)? Atas dasar apa menjadikan keadilan sebagai prinsip keagamaan
yang kedua setelah ketauhidan?
Salah satunya adalah untuk
menanggapi sekelompok kecil masyarakat Islam-kaum 'Asy'ariyah-yang tidak
beranggapan bahwa Allah senantiasa bertindak adil. Mereka (kelompok
'Asy'ariyah) mengatakan bahwa apapun yang dilakukan dan dikehendaki Allah
adalah benar dan adil, sekalipun menurut akal serta pengetahuan kita, semua itu
buruk, tercela, dan zalim!!
Misalnya dikatakan,
"Apabila Allah hendak memasukkan Amirul mukminin Ali bin Abi Thalib ke
dalam neraka, sementara Ibnu Muljam ke dalam surga, semua itu tentu tidak ada
masalah." Jelas, kita akan menolak rumus berpikir semacam mi. Kita yakin
betul bahwa keadilan merupakan bagian dari prinsip akidah.[5] Berdasarkan pikiran logis yang
dikuatkan ayat-ayat al-Quran, kita akan menjumpai baliwasannya segenap
perbuatan Allah benar-benar bijaksana dan ditandasi oleh perhitungan yang
sangat cermat. Dia sama sekali tidak akan pernah melakukan perbuatan buruk dan
tercela. Keimanan terhadap keadilan Ilahi berpengaruh besar dalam membenahi
manusia:
1. Sebagai kontrol terhadap
dosa-dosa. Tatkala meyakini bahwa ucapan dan perbuatannya senantiasa berada di
bawah pengawasan-Nya, tentu seseorang tidak akan meremehkan perbuatannya
sekecil apapun. Dirinya yakin betul bahwa kelak segenap perbuatan (baik atau
buruk) yang pernah dilakukannya akan diganjar. Seraya itu, ia juga akan
beranggapan bahwa mustahil dirinya dilepas begitu saja tanpa adanya ikatan atau
aturan (yang dalam hal ini banyak dibahas al-Quran dalam pelbagai ayatnya).
2. Berprasangka baik. Seseorang
yang mengimani keadilan Ilahi akan berprasangka baik terhadap sistem yang
beroperasi dijagat alam ini. Keyakinan terhadap keadilan Allah niscaya akan
menjadikan seseorang beranggapan bahwa pelbagai kejadian pahit yang menimpanya
tak lain dari sesuatu yang menyenangkan. Orang semacam ini tidak akan pernah
merasa getir dan berputus asa.
3. Keimanan terhadap keadilan
Ilahi merupakan faktor penggerak timbulnya keadilan dalam konteks kehidupan
individu maupun masyarakat. Setiap orang yang rneyakini keadilan Allah, tentu
akan mudah menerima keadilan dalam hidupnya, baik secara individual maupun
sosial.
Contoh dari Al-‘Adl
Misalnya, seseorang
yang merobek-robek selembar permadani yang lebar. Dalam hal ini, permadani yang
sebelumnya memiliki ukuran yang lebar tersebut, setelah dirobek-robek, tinggal
menjadi serpihan-serpihan kecil alias tidak lebar lagi (kehilangan
kelebarannya). Berbeda, misalnya,ketika permadani tersebut memiliki ukuran yang
kecil sejak pertama kali ditenun. Jelas, permadani kecil itu tidak memiliki
alasan untuk mengatakan, "Mengapa saya kecil?"
Sebab, sebelumnya ia
(permadani berukuran kecil tersebut) bukanlah sesuatu dan tidak ada
(eksistensinya) sama sekali. Dan Ketika diadakan (ditenun seseorang) pun,
permadani tersebut sama sekali tidak memiliki ukuran yang besar, yang kemudian
seseorang merampas dan meniadakan ukurannya yang besar tersebut.
Yang kedua, Seorang
guru tanpa pandang bulu memberikan nilai yang sama kepada seluruh muridnya
tanpa memperhatikan kerajinan serta usaha belajar masing-masing murid tentu
bisa dikatakan bahwa ia telah bertindak zalim. Perbuatan guru tersebut persis
sama dengan perbuatan zalim seorang dokter yang memberi obat yang sama kepada
seluruh pasiennya tanpa terlebih dulu memeriksa kondisi masing-masingnya (yang
tentunya mengidap penyakit yang berbeda-beda sehingga meniscayakan obat yang
berbeda-beda pula).
Keadilan yang
niscaya bagi seorang dokter dan guru ialah ketika mereka memberi angka (sang
guru) dan obat (sang dokter) yang berbeda-beda. Dan, perbedaan ini bukanlah
sebuah diskriminasi. Perbedaan tersebut merupakan sesuatu yang niscaya,
alamiah, wajar, dan bukan sekadar bermain-main. Segenap perbedaan yang
diberlakukan dilandasi oleh suatu kebijaksanaan. Dengan demikian, perlakuan
membeda-bedakan dan tidak pukul rata, selama masih berada dalam lingkup
kebijaksanaan, tidak dapat dikatakan sebagai tindakan zalim.
Kesimpulan:
Allah itu adil
kepada siapa dan apa saja, baik manusia, makhluk lain, maupun alam ciptaan-Nya.
Segala yang diciptakan Allah sudah ditetapkan dengan adil. Ada siang ada malam,
ada laki-laki ada perempuan, dan sebagainya.
Nama :
Riskiani Presilia
Kelas :
XD1 / XRPL1
No :
26
SMK NEGERI 1 KEBUMEN
Tidak ada komentar:
Posting Komentar